Dinamika Perguruan Tinggi Islam

Dinamika Perguruan Tinggi Agama Islam


IAIN pada dasarnya merupakan bagian dari suatu sitem pendidikan Islam yang ada di Indonesia, IAIN didirikan sebagai jenjang lanjutan dari pendidikan Islam yang ada di bawahnya, yakni madrasah dan pesantren. Madrasah dan pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional yang lahir dari prakarsa masyrakat muslim nusantara (Indegeneus Institution) untuk memberikan pengajaran kepada masyarakat mengenai ajaran Islam. Oleh karena itu, madrasah dan pesantren lebih banyak berkembang di lingkungan masyarakat muslim. Sementara itu IAIN didirikan sebagai respon atas kebutuhan  pemerintah akan tenaga pendidikan muslim yang ahli di bidang ilmu keislaman, untuk menjadi tenaga pegawai di Departemen Agama dan mengembangkan sistem pendidikan di madrasah dan pesantren.

Pada awalnya IAIN tidak didirikan untuk memenuhi kebutuhan akademik saja, melainkan juga agama, ideologi bahkan politik. Kekhasan lain adalah jika di Perguruan Tinggi Umum (PTU), agama Islam sekedar menjadi salah satu mata kuliah, sedangkan di lembaga ini ditetapkan sebagai fokus kajian utama.

Karakter yang demikian sering membuat sistem pengelolaan IAIN serba salah. Demi kepentingan agama dan ideologi, ia dikelola Departemen Agama, bukan Departemen Pendidikan Nasional, institusi yang berwenang mengelolah seluruh lembaga pendidikan. Hal yang terpenting lainnya adalah bagaimana IAIN tetap eksis sebagai lembaga yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dengan perubahan kebutuhan yang semakin kompleks di masa sekarang ini.

SEJARAH SINGKAT PERGURUAN TINGGI ISLAM

Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia

Sejarah perguruan tinggi Islam mencatat bahwa Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) merupakan cikal bakal pendidikan Islam di Indonesia pada masa-masa selanjutnya. STAI ini didirikan pada 27 Rajab 1364 H/8 Juli 1945 M. di Jakarta, kemudian di pindahkan ke Yogyakarta dan diubah menjadi Universitas Islam Indonesia (UII)  pada tahun 1948. UII merupakan bibit utama dari perguruan-perguruan tinggi swasta yang kemudian berkembang menjadi beberapa Universitas Islam seperti Universitas Yarsi di Jakarta, Universitas Islam Bandung (UNISBA), Universitas Muhammadiyah Surakarta, Universitas Islam Sultan Agung (UNISULA) dan Universitas Islam Wahid hasyim di Semarang, UniversitasIslam Malang, (UNISMA), Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Islam Sunan Giri (UNSURI) di Surabaya dan sebagainya. 

Sejarah berdirinya IAIN

Sebelum Indonesia merdeka, masyarakat Muslim Indonesia telah menjadikan Timur Tengah, Khususnya Mekah, Madinah dan pada tingkat tertentu Mesir, sebagai pusat studi Islam. Minat untuk belajar di Timur Tengah itu pertama diwujudkan dengan berangkat sendiri ke Timur Tengah, baik dengan tujuan khusus mencari ilmu maupun melalui sarana ibadah haji. Tidak sedikit kaum muslimin Indonesia yang muqim di tanah suci ketika musim haji telah berakhir. Kondisi itulah yang secara berturut-turut melahirkan tokoh-tokoh terkemuka seperti Abdurrauf al-Sinkili dan Muhammad Yusuf al-Makasari (abad ke-17); Abdus Somad al-Palimbani, Arsyad al-Banjari, Akhlad Khatib Minangkabau, Nawawi al-Bantani (abad ke-18 dan 19); Ahmad Dahlan, Wahid Hasyim, Abdul Wahab Hasbullah, Abdul Halim Majalengka, Mahmud Yunus (abad ke-20).

Adapun gagasan untuk mendirikan perguruan tinggi Islam dilatar belakangi oleh beberapa faktor, Pertama, dimaksudkan untuk mengakomodasi kalangan yang tidak memiliki kesempatan melanjutkan studi ke Timur Tengah. Kedua, untuk mewujudkan lembaga pendidikan Islam sebagai kelanjutan pesantren dan madrasah. Ketiga, keinginan untuk menyeimbangkan jumlah kaum terpelajar tamatan sekolah “sekuler” dengan tamatan sekolah agama.

Secara formal, pendirian lembaga pendidikan tinggi Islam baru dapat direlisasikan oleh pemerintah pada tahun 1950 di Yogyakarta. Pada saat itu pemerintah mengubah status Universitas Gajah mada menjadi Universitas Negeri, sesuai dengan PP N0. 37 /1950 yang diperuntukkan bagi golongan nasionalis. Pada saat yang sama, kepada kelompok Islam diberikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dengan mengubah status fakultas agama UII. Tidak berselang lama, Departemen Agama mendirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta pada tanggal 1 Juni 1957 sebagai lembaga yang mendidik dan menyiapkan pegawai negeri dengan kemampuan akademik dan semi akademik tingkat diploma sebagai guru agama di SLTP. 

Berdasarkan perkembangan yang ada dan pertimbangan lain yang bersifat akademis, pada tanggal 24 Agustus 1960 presiden mengeluarkan PP No. 11 yang menggabungkan PTAIN dan ADIA dengan nama baru yaitu Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Jadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) merupakan perkembangan lebih lanjut dari Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang terletak di Yogyakarta dan Akademi Dinas Ilmu Agama (AIDA) di Jakarta.

Visi dan Misi IAIN

Visi dan misi IAIN pertama dirumuskan dalam pidato pembukaan KH. A. Wahid Hasyim setika beliau menjabat sebagai menteri agama pada tanggal 26 September dalam acara peresmian IAIN di Yogyakarta. Visi IAIN tersebut adalah: 

IAIN diharapkan dapat mengembangkan ilmu keislaman yang dapat melepaskan ilmu pengetahuan dari kungkungan perasaan keagamaan yang sempit dan bebas dari pertimbangan-pertimbangan politik.

IAIN diharapkan mampu mengembangkan ilmu keislaman yang dapat memperkuat kedudukan ilmu pengetahuan dalam dimensi taqwa, dengan kata lain ilmu keislaman dapat berperan secara maksimal dalam upaya menyeimbangkan kemajuan ilmu pengetahuan dengan kemajuan kehidupan isi (rohani) kemanusiaan.

Adapun misi IAIN adalah sebagai berikut:

IAIN diharapkan dapat berfungsi atau merupakan bagian dari langkah para akademisi dalam bidang ilmu keislaman untuk menambah tenaga kehidupan umat Islam yang masih sangat lemah dan dengan tambahan tenaga kehidupan tersebut umat Islam Indonesia akan mampu menjadi umat yang maju dan kuat.

IAIN diharapkan dapat berkembang sebagai lembaga pendidikan tinggi yang mampu mencegah umat Islam Indonesia, yang jumlahnya sangat besar, agar tidak terbelah dalam dua golongan ”mutihan“ dan ”ngabangan“ seperti pada penjajahan Belanda.

Tujuan dan Orientasi IAIN

Pasal 2 Peraturan Pemerintah No 11 tahun 1960 bahwa IAIN bermaksud untuk memberikan pengajaran tinggi dan menjadi pusat perkembangan dan pendalaman ilmu pengetahuan. Dengan landasan ini, IAIN diharapkan mampu merespon dan menjawab tantangan zaman. Dalam konteks ini IAIN diorientasikan menjadi pusat studi pengembangan dan pembaruan pemikiran Islam. Tujuan pendidikan dan pengajaran IAIN sendiri adalah untuk melakukan transfer nilai-nilai Islam dan nilai-nilai luhur bangsa (transfer of values), transfer pengetahuan (transfer of knowledge) terutama bidang studi agama Islam dan transfer keterampilan (transfer of skils). Meskipun transfer keterampilan yang berkaitan dengan lapangan pekerjaan masih dalam proses pencarian.

PP No. 30 tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi menjelaskan tujuan pendidikan tinggi untuk:

Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan / atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan / atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan / atau keislaman.

Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan / atau kesenian serta mengupayakan penggunannya untuk meningkatkan taraf kahidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.

Untuk merealisasikan tanggung jawab IAIN sebagai pendidikan di Indonesia, IAIN mempertimbangkan perkembangan dan kebutuhan masyarakat Indonesia khususnya dan dunia Islam pada umumnya. Oleh karena itu IAIN dituntut (1) memenuhi kebutuhan masyarakat, negara dan pemerintah akan tenaga fungsional dalam bidang keagamaan. (2) mengembangkan agama Islam dan ilmu-ilmu pengetahuan umum yang dapat menunjang pengembangan pengetahuan dan ilmu-ilmu agama Islam. (3) Menetapkan kualifikasi yang harus dipenuhi oleh para lulusan IAIN sebagai orang yang profesional dan akademisi dalam bidang keagamaan. Tanggung jawab tersebut yang diantaranya dirumuskan melalui kurikulum nasioanal yang ditetapkan SK Menteri Agana RI No. 27/1995.

IAIN MENUJU PENDIDIKAN MODERN

Problematika

Sebagaimana dikemukakan dalam “World Declaration on Higher for the Twenty-First Century: Vision and Action”, dalam dunia yang tengah berubah sangat cepat, terdapat kebutuhan mendesak bagi adanya visi dan paradigma baru bagi perguruan tinggi. Paradigma baru tersebut mau tidak mau harus melibatkan reformasi besar yang mencakup perubahan kebijakan yang lebih terbuka, transparan dan akuntabel. Dengan reformasi dan perubahan, perguruan tinggi dapat melayani kebutuhan yang lebih beragam bagi lebih banyak orang dengan kandungan pendidikan (content) metode dan penyampaian pendidikan berdasarkan jenis dan bentuk-bentuk baru hubungan dengan masyarakat dan sektor-sektor masyarakat yang lebih luas. Kajian ulang terhadap kinerja perguruan tinggi secara konperhensip bisa kita lihat dalam kerangka yang diajukan oleh D.A. Tisna Amijaya. Sebelum memberikan kerangka pengembangan perguruan tinggi jangka panjang, ia mengidentifikasi lima masalah besar yang dihadapi perguruan tinggi pada umumnya.

Pertama, produktivitas yang rendah; kedua, keterbatasan daya tampung; ketiga, keterbatasan kemampuan berkembang; keempat, kepincangan di antara berbagai perguruan tinggi; dan kelima, distribusi yang tidak seimbang dalam bidang-bidang ilmu yang disediakan perguruan tinggi, khususnya di antara ilmu- ilmu sosial dan humaniora dan ilmu ilmu eksakta. 

IAIN menuju pendidikan modern

Untuk memperjelas visi dan aksi perguruan tinggi dalam abad 21 seperti dirumuskan UNESCO yang jelas sangat relevan dengan paradigma baru perguruan tinggi di Indonesia, maka berikut kutipan beberapa bagian penting deklarasi UNESCO tersebut:

Pertama, tentang misi dan fungsi perguruan tinggi , deklarasi menegaskan bahwa misi dan nilai pokok perguruan tinggi adalah memberikan kontribusi kepada pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) dan pembangunan masyarakat secara keseluruhan. Dalam konteks ini, misi dan fungsi perguruan tinggi secara lebih spesifik adalah: mendidik mahasiswa dan warga negara untuk memenuhi kebutuhan seluruh sektor aktivitas manusia, dengan menawarkan kualifikasi-kualifikasi yang relevan, termasuk pendidikan dan pelatihan profesional yang mengkombinasikan ilmu pengetahuan dan keahlian tingkat tinggi melalui mata kuliah-mata kuliah yang terus dirancang, dievaluasi secara ajeg. Dan terus berkembang untuk menjawab berbagai kebutuhan masyarakat dewasa ini dan masa akan datang. 

Kedua, memberikan berbagai kesempatan kepada para peminat untuk memperoleh pendidikan tinggi sepanjang usia. Perguruan tinggi memiliki misi dan fungsi memberikan kepada para penuntut ilmu sejumlah pilihan yang optimal dan fleksibel untuk masuk ke dalam dan keluar dari sistem pendidikan yang ada. Perguruan tinggi juga harus memberikan kesempatan bagi pengembangan individu dan mobilitas sosial bagi pendidikan kewargaan dan bagi partisipasi aktif dalam masyarakat. Dengan begitu, peserta didik akan memiliki visi yang mendunia dan sekaligus mempunyai kapasitas membangun yang pribumi.

Ketiga, memajukan, menciptakan dan menyebarkan ilmu pengetahuan melalui riset dan memberikan keahlian yang relevan untuk membantu masyarakat umum dalam mengembangkan budaya, sosial dan ekonomi; mengembangkan penelitian dalam bidang sains dan teknologi; ilmu-ilmu sosial, humaniora dan seni kreatif.

Keempat, membantu untuk memahami, menafsirkan, memelihara, memperkuat, mengembangkan dan menyebarkan budaya-budaya historis nasional, regional dan internasional dalam pluralisme dan keragaman budaya.

Kelima, membantu untuk melindungi dan memperkuat nilai-nilai sosial dengan menanamkan kepada generasi muda nilai-nilai yang membentuk dasar kewarganegaraan yang demokratis.

Keenam, memberikan kontribusi kepada pengembangan dan peningkatan pendidikan pada seluruh jenjang.

Reformasi kelembagaan

Untuk mengatasi berbagai kelemahan ini, Amijaya mengajukan lima program besar. Pertama, meningkatkan produktifitas perguruan tinggi; kedua, peningkatan daya tampung; ketiga, peningkatan pelayanan kepada masyarakat; keempat, peningkatan bidang keilmuan eksakta atau iptek; dan kelima, peningkatan kemampuan berkembang.

Selain itu, sebuah konsep program pengembangan perguruan tinggi jangka panjang, 1986-1995 yang sedikit berbeda diperkenalkan Sukadji Ranuwiharjo. Pertama, peningkatan kualitas perguruan tinggi; kedua, peningkatan produktifitas; ketiga, peningkatan relevansi; keempat, perluasan kesempatan memperoleh kehidupan, yang kedudian dari beberapa konsep tersebut dirumuskan dalam sebuah paradigma baru perguruan tinggi sebagaimana terdapat dalam rencana jangka panjang ketiga (1996-2005). Paradigma tersebut mencakup antara lain: peningkatan kualitas perguruan tinggi secara berkelanjutan melalui peningkatan manajemen yang telah diperbaiki, dimana otonomi, akuntabilitas dan akreditasi merupakan komponen-komponen terpenting. Reformasi sistem pendidikan dilakukan secara menyeluruh terhadap seluruh aspek pendidikan, seperi: filosofi dan kebijakan pendidikan nasional; sistem pendidikan berbasis masyarakat (Community based education); perberdayaan guru dan tenaga kependidikan; menajemen berbasis sekolah (School-based management); implementasi paradigma baru perguruan tinggi; dan sistem pembiayaan pendidikan.

Gagasan dan konsep tentang pengembangan IAIN menjadi UIN bertitik tolak dari beberapa masalah yang dihadapi IAIN dalam perkembangannya selama ini dan juga mendasarkan diri dari paradigma di atas. Beberapa masalah pokok itu adalah sebagai berikut:

Pertama, IAIN belum berperan secara optimal dalam dunia akademik, birokrasi dan masyarakat Indonesia. Di antara ketiga lingkungan ini, kelihatan peran IAIN lebih besar pada masyarakat, karena orientasi kepada dakwah dari pada pengembangan ilmu pengetahuan.

Kedua, kurikulum IAIN belum mampu merespon perkembangan iptek dan perubahan masyarakat yang semakin kompleks. Hal ini disebabkan karena bidang kajian agama yang merupakan spesialisasi IAIN kurang mengalami interaksi dan reapproachment dengan ilmu-ilmu umum bahkan masih cenderung dikotomis. Kurikulum IAIN masih terlalu berat pada ilmu-ilmu yang bersifat normatif, sedangkan ilmu-ilmu umum yang dapat mengarahkan mahasiswa kepada cara berpikir dan pendekatan yang lebih empiris dan kontekstual nampaknya masih belum memadai.

Dalam rencana transformasi IAIN manjadi UIN, kendala pokoknya adalah berkenaan dengan legal contrains yang berkaitan dengan UU Sidiknas. PP 60/1999, yang memberikan wewenang lebih luas kepada perguruan tinggi untuk mengembangkan dirinya, kelihatannya juga belum reformis untuk memungkinkan perubahan menjadi UIN. Meskipun demikian, setidaknya ada dua opsi pilihan yang mempunyai kekuatan dan kelemahan.

Pertama, mentransformasikan secara langsung IAIN menjadi UIN. Transformasi ini melibatkan perubahan dan penyesuaian atau peningkatan fakultas-fakultas yang ada sekarang dan pembentukan fakultas-fakultas baru sesuai dengan konsep dan kerangkan UIN. Kedua, membentuk jurusan-jurusan atau fakultas-fakultas baru di institusi IAIN, sehingga secara substansif sesuai dengan kerangkan IAIN.

Bagaimanapun juga, berbagai konsep yang dapat dijadikan pilihan akan tetap dibutuhkan model tertentu, baik dilihat dari segi epistemologis keilmuan maupun kelembagaan. Setidaknya ada tiga model yang bisa dijadikan pilihan.

Pertama, model  “Universitas al-Azhar“, dimana fakultas-fakultas agama berdiri berdampingan dengan fakultas-fakultas umum. Fakultas-fakultas ini cenderung terpisah satu sama lain, walaupun tetap dalam satu payung. Kecenderungan model ini adalah bahwa fakultas-fakultas umum menjadi favorit, sedangkan fakultas agaman menjadi pilihan kedua. Dalam prakteknya, dikotomi dilakukan secara kelembagaan pada tingkat fakultas dan secara substansi keilmuan. Jika model ini harus dipertahankan, maka alternatifnya adalah pembentukan program suplemen wajib antar fakultas agama dengan fakultas umum. Dalam program ini, mahasiswa fakultas agama harus mengambil sejumlah mata kuliah ilmu-ilmu umum tertentu yang relevan dengan ilmu-ilmu agama yang menjadi bidang keilmuan utamanya. Sebaliknya, mahasiswa fakultas umum harus mengambil sejumlah mat kuliah agama

Kedua,“model Universitas Islam Antarbangsa (UIA)“ seperti di Islamabad atau di kuala lumpur. Dalam metode ini ilmu-ilmu dibagi menjadi “revealed knowledge“, ilmu-ilmu kewahyuan, yang memunculkan fakultas/jurusan agama; dan acquired knowledge“,ilmu perolehan atau ilmu non-wahu, yang selanjutnya diterjermahkan menjadi fakultas atau jurusan umum, seperti teknik, kedokteran, ekonomi, psikologi, antropologi dan sebagainya. Bidang-bidang ini selain “diislamisasikan“, ketika dijabarkan ke dalam kurikulum, juga dilengkapi dengan subyek-subytek keislaman lainnya yang berkaitan. Dalam model ini, gagasan tentang “Islamisasi ilmu pengetahuan” yang mendasarinya masih mengandung sejumlah masalah dan pertanyaan menyangkut epistemologi ilmu sebagai satu kesatuan, baatas-batas “Islamisasi ilmu” tersebut; bidang-bidang ilmu yang akan “diislamisasikan”., dan sebagainya.

Ketiga, model Perguruan Tinggi Agama Islam atau model IAIN. Dalam model ini, ilmu-ilmu agama menjadi titik tolak yang merupakan inti seluruh proses keilmuan dan akademis. Sedangkan ilmu-ilmu umum menjadi suplemen yang terintegrasi sepenuhnya dalam kurikulum. Masalah dalam model ini adalah secara institusional IAIN lebih dipandang sebagai perguruan tinggi “murni agama” terlepas dari kenyataan bahwa kurikulumnya bahkan kelembagaannya juga mencakup jurusan-jurusan umum seperti Bahasa Inggris, Psikologi, Matematika, IPA dan sebagainya. Alternatif masalah tersebut adalah perlunya pengembangan IAIN menjadi IAIN with wide mandate atau IAIN dengan mandat yang lebih luas bahkan Universitas Islam Negeri (UIN). Konsep ini tidak hanya memiliki mandat dalam bidang ilmu-ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang humaniora liannya. Ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu eksakta.

KESIMPULAN

Dari kondisi pendidikan di lingkungan pendidikan IAIN yang seperti itu, maka perlau adanya visi dan paradigma baru bagi perguruan tinggi. Paradigma baru tersebut mau tidak mau harus melibatkan reformasi besar yang mencakup perubahan kebijakan yang lebih terbuka, transparan dan akuntabel. Dengan reformasi dan perubahan, perguruan tinggi dapat melayani kebutuhan yang lebih beragam bagi lebih banyak orang dengan kandungan pendidikan (content), metode dan penyampaian pendidikan berdasarkan jenis dan bentuk-bentuk baru hubungan dengan masyarakat dan sektor-sektor masyarakat yang lebih luas. Kajian ulang terhadap kinerja perguruan tinggi secara konperhensip.

Ada tiga model yang bisa dijadikan pilihan reformasi kelembagaan yaitu:

Model  “Universitas al-Azhar“

Model Perguruan Tinggi Agama Islam atau IAIN 

Model “Universitas Islam Antarbangsa (UIA)“ 


DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Masykuri, “Menimbang Kurikulum IAIN: Kasus Kurikulum 1995 dan 1997” dalam Problem dan Prospek IAIN, ed. Komaruddin. Hidayat, Hendro Prasetyo, Jakarta:  Departemen Agama RI, 2000.

Amijaya, D.A. Tisna, Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 1979-1985, Jakarta: Dirjen Dikti, 1996.

Azra, Azyumardi, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002.

Hamidjojo, Santoso S., Platform Reformasi Pendidikan Nasional, Jakarta: Tim Kerja Peduli Reformasi Pendidikan Nasional, 1998), 20.

Hasan, Muhammad Tolhah, Dinamika Pemikiran Tentang Perguruan Tinggi, Jakarta: Lantabora Press, 2006.

Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1996.

Hendrik, Johan IAIN di Persimpangan Jalan, Jakarta: Dirjen Binbaga, 2000.

Praja, Juhaya S., Filsafat dan Metodologi Ilmu Dalam Islam, Jakarta: Teraju, 2002.

Rahim, Husni Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001.

Ranuwiharjo, Sukardji, Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 1986-1995, Jakarta: Dirjen Dikti, 1986.

Soehendro, Bambang, Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 1996-2005, Jakarta: Dikti, 1996.

Zamakhsyari, Refleksi atas Visi dan Misi IAIN, Jakarta: Dirjen Binbaga, 2000.

gudang syair

Saya adalah orang biasa dimata yang tidak mengenaliku..webku http://www.disiniadahikmah.blogspot.com selalu berusaha untuk sedikit bicara banyak menulis خير الكلام ما قل ودل

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama