Merancang Pendidikan Transformatif Serta Langkah yang harus ditempuh
Pendahuluan
Dewasa ini, ketika dunia didera gelombang globalisasi, pendidikan kian bergeser dari status dan fungsi awalnya. Pendidikan mau tidak mau dipaksa tereduksi hanya sebagai komoditas dan harus terbingkai dalam logika pasar. Disatu sisi ia menjadi eksklusif dan tak terjangkau oleh kalangan bawah, sehingga darwinisme sosial pun sulit dielakkan berlaku. Sedang disisi lain visi dan misinya tidak keluar dari koridor ekonomi (menyiapkan peserta didik sebagai homo economicus semata). Peserta didik disibukkan oleh rutinitas studi-studi berdasarkan kurikulum yang juga terasing dari kehidupan sosial. Misalnya, ketika bicara sains dan teknologi, peserta didik digiring untuk memusatkan diri pada teknologi yang bias sektor urban. Misalnya, mesin-mesin industri berat dan bukan perihal teknologi tepat guna, yang murah, mudah dijalankan dan langsung memberi manfaat kepada masyarakat kecil. Lebih parah lagi, pendidikan kita sulit dibedakan dengan pelatihan atau trainning. Metode searah sulit dipungkiri memupus kreatifitas peserta didik dalam mengembangkan corak berpikir bebas. Berangkat dari sistem pendidikan yang demikianlah tercipta para pengangguran intelektual. Kemerosotan moral yang dialami oleh para pelajar merupakan dampak lain dari pendidikan yang hanya mementingkan transfer of knowledge tanpa dibarengi dengan tranfer of value.
Dengan demikian, adanya pendidikan yang transformatif mutlak diperlukan. Pendidikan yang integral, tidak tercerabut dari realitas perubahan sosial yang melingkupinya. Disamping itu, pendidikan tranformatif tidak hanya mementingkan aspek kognitif saja tanpa dimbangi dengan tranfer nilai dari pengetahuan itu sendiri.
Paradigma Pendidikan Trasnsformatif
Seperti yang telah dipaparkan di muka bahwa realitas pendidikan di negara kita masih membutuhkan perbaikan-perbaikan dan kerja ekstra keras terutama dari para pemerhati pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan paradigmatisasi pendidikan transformatif. Suatu pendidikan yang dikembangkan sesuai kebutuhan objektif, visioner, didasarkan atas falsafah tujuan negara. Pendidikan ini diarusutamai oleh menyatunya pendidikan dengan persoalan sosial yang tengah digumuli rakyat dan memberikan perspektif terhadap problematika masa depan.
Pendidikan tersebut menghendaki pendidikan dibaca sebagai salah satu entitas sosial yang diletakkan dalam kerangka besar transformasi masyarakat Indonesia. Dengan demikian, pendidikan transformatif adalah pendidikan yang mampu menggerakkan transformasi sosial.
Terdapat pengertian lain dari pendidikan transformatif, hal ini seperti pendapat J.l.G Drost SJ yang dikutip oleh Nurul Huda yang menawarkan paedagogi Ignasian sebagai pendidikan transformatif, yaitu paedagogi yang berusaha menyatakan dalam kehidupan sehari-hari para pelajar. Ciri utama paedagogi Ignasian ialah bahwa cara pembentukan manusia dewasa bukanlah sesuatu yang ditambahkan kepada tugas mengajar, tetapi paedagogi yang membentuk para pelajar sebagai pelajar yang terintegrasi dalam proses pembelajaran.
Pengajar mengajar dan pelajar belajar. Seorang pengajar mendidik dengan mengajar dan mengajar dengan mendidik. Seorang pelajar diajar dengan dididik dan dididik dengan diajar.dengan demikian diharapkan seorang pengajar dapat mendampingi para pelajar guna memudahkan proses belajar dan berkembangan lewat perjumpaan dengan kebenaran hidup dan penggalian hidup manusia. Dengan cara ini dapat membantu pelajar berkembang menjadi manusia yang kompeten, bertanggung jawab dan memperhatikan kepentingan bersama.
Senada dengan pendapat ini, gagasan Indra Djati Sidi berkenaan dengan paradigma dan visi pendidikan yang relevan dengan perkembangan zaman. Dia berpendapat bahwa paradigma mengajar (teaching) harus diganti menjadi belajar atau learning. Kemudian paradigma metode pengajaran yang hanya mementingkan pada subject matter harus diganti menjadi mementingkan dan memperhatikan dan mementingkan kebutuhan siswa.
Dengan mengubah paradigma teaching menjadi learning proses pendidikan menjadi proses sebagai mana belajar bersama antara guru dan pembelajar. Dalam konteks ini guru juga dalam proses belajar sehingga terciptalah apa yang disebut Ivan Illich sebagai learning society. Sementara itu perubahan metode mengajar yang lebih mementinga anak didik anak menciptakan anak-anak- didik yang kreatif.
Dengan demikian pendidikan transformatif harus dimulai dari perubahan paradigma pendidikan baik dari pembelajaran maupun tekniknya. Dari proses pembelajaran yang komunikatif-kontektual diharapkan akan muncul generasi yang dapat melakukan tranformasi sosial secara massif.
Problematika Pendidikan Kontemporer
Realitas pendidikan yang ada sekarang ini berjalan di luar kodratnya. Dalam tataran diskursus, pendidikan yang berjalan di luar kodratnya ini melahirkan tradisi fashion dalam pergulatan intelektualisme. Tren diskursus intelektual yang berkembang tidak berasal dari basis sosial permasalahan yang ada. Namun terpengaruh oleh isu intelektualisme yang berkembang di barat yang memiliki basis sosial berbeda.
Pada era 1990-an, misalnya, intelektual terkena demam postmodernism sebagai wacana an sich yang tidak dibenturkan dengan realitas objektif. Begitu juga wacana civil society yang amat penting itu. Wacana ini lebih sering dibaca secara konseptual daripada elaborasinya dalam konteks Indonesia. Tren wacana paling mutakhir adalah cultural studies, yang siap dijadikan onani intelektual. Maka, dapat dikatakan wacana yang dikembangkan intelektual tidak sebangun dengan persoalan sosial yang digumuli rakyat, terserabut dari akar sosial dan kulturalnya.
Disamping itu kurikulum pendidikan didominasi oleh sains positivistik dan paradigma fungsionalisme yang juga dipaksakan diterapkan dalam sains sosial dan humaniora. Kemudian keberhasilan pendidikan diukur melalui nilai verbal dan ijazah tanpa mau tahu proses material munculnya nilai tersebut. Maka, yang terjadi adalah pendidikan hanya menjadi wahana transfer of knowledge yang oleh Freire dikatakan tidak lebih dari pendidikan preskriptif, jauh dari pendidikan dialogis yang ideal. Model pendidikan tersebut merupakan model pendidikan yang dalam bahasa Freire, membelenggu (domesticating) yang kontras dengan pendidikan membebaskan (liberating), yang selain memuat dimensi to know juga memuat dimensi to transform. Oleh karena pendidikan diseting untuk memenuhi hanya salah satu aspek dalam kehidupan manusia yakni kepentingan pasar, maka pendidikan tidak dapat responsif menghadapi dinamika dan perubahan sosial yang kompleks. Pendidikan yang tidak dirancang untuk menjawab tantangan secara komprehensif tantangan masa depan ini, menjadikannya mengalami stagnasi karena gagal mengakomodasi transformasi sosial yang ada.
Hal itu juga dipengaruhi oleh gagasan tentang kemajuan ekonomi (economic progress). Disadari atau tidak, gagasan tersebut menguasai paradigma dan konsepsi pendidikan modern. Karena itulah pendidikan modern lebih berorientasi pada pengembangan kognisi daripada yang lain-lain. Pengembangan ranah kognisi bukan tidak penting; tetapi tidak pada tempatnya mengabaikan ranah-ranah lainnya. Dan ini terlihat, ketika ranah afeksi dan psiko-motorik nyaris terabaikan. Kalaupun ada, posisinya sangat marjinal dalam proses-proses pembelajaran dan pendidikan. Bahkan mata pelajaran agama yang merupakan pelajaran wajib yang diharapkan dapat mengembangkan afeksi peserta didik juga tergelincir pada penekanan yang kuat hanya pada ranah kognisi, yang lebih dipentingkan hafalan, bukan kelekatan pada ajaran-ajaran dan pengamalannya dalam kehidupan sehari. Pengajaran agama menjadi lebih formalistis dan simbolis daripada yang lain-lain.
Permasalahan melambungnya biaya menuntut ilmu akibat komersialisasi pendidikan, sedikit banyak telah mempengaruhi pergeseran orientasi mahasiswa. Atau bisa dikatakan idealisme angkatan muda terjangkit erosi yang membahayakan. Ketika ada tuntutan untuk cepat lulus, baik karena soal biaya maupun standardisasi yang ditetapkan oleh pasar, perhatian mahasiswa sedikit banyak terserap untuk studi. Perhatian terhadap persoalan sosial, lingkungan, dsb., yang nyata dihadapi masyararakat cenderung terabaikan. Dan setelah lulus, orientasi utamanya bukanlah bekerja demi kepentingan umat. Melainkan terjebak dalam pragmatisme pasar, tertanam dalam filosofi liberal yang memerosotkan potensi-potensinya untuk melakukan atau setidaknya berjalan searah dengan kepentingan transformasi sosial. Para ilmuan misalnya, akibat proses pendidikan yang sangat liberal sulit untuk tidak menjadi -meminjam istilah Heru Nugroho- Intelektual 'asongan', yang menjajakan pengetahuannya untuk riset maupun pengembangan wacana yang seringkali adalah proyek pemilik modal. Terjebaknya para ilmuan ini memberi kontribusi besar terhadap macetnya ilmu-ilmu sosial dan ketidakmampuannya menjadi bagian dari problem solving dalam masyarakat. Ilmuan tidak jarang terjebak dalam studi-studi keilmuan yang sebenarnya disetting oleh ideologi mainstream yang kontra transformasi. Dalam Magnum Opus-nya Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (1962) menyatakan bahwa ilmuan bukanlah para penjelajah berwatak pemberani yang menemukan kebenaran-kebenaran baru. Mereka lebih mirip para pemecah teka-teki yang bekerja dalam pandangan dunia yang telah mapan. Mereka menjadi sangat sensitif dan kehilangan kearifan dengan mencap kritik terhadap ilmu adalah 'omong kosong'; serta menggambarkan para pengritik ilmu sebagai para 'pembual'. Dengan kata lain, para ilmuan telah menjadi aparat status quo dari ideologi hegemonik.
Ancangan Menuju Pendidikan Tranformatif
Gagasan paradigma pendidikan tranformatif seperti dijelaskan dimuka dapat dimulai dengan melakukan dekonstruksi total terhadap konstruksi ideologi pendidikan Indonesia sekarang. Tugas dekonstruksi ini diarahkan untuk membebaskan pendidikan dari berbagai belenggu ideologis dan politik yang menyelubunginya. Pendidikan harus dibebaskan dari proyek hegemoni penyebarluasan teori modernisasi, seperti digambarkan Escobar penciptaan jaringan kerja yang luas (dari organisasi internasional dan universitas hingga pelaku pembangunan tingkat lokal) yang menjamin pemungsian aparat ini secara efisien. Sekali dikonsolidasikan, sistem ini menentukan apa yang dapat dikatakan, dipikirkan, dibayangkan. Singkatnya, sistem itu mendefinisikan bidang perseptual, ruang pembangunan'.
Pendidikan di Indonesia era orde baru, di samping disubordinasikan dalam developmentalism juga dipakai sebagai instrumen politik mempertahankan kekuasaan. Fiske mengatakan, sekolah merupakan sumber kekuasaan politik, media praktik kekuasaan dan senjata politik. Orde baru menjadikan pendidikan sebagai sumber kekuasaan dengan cara mempekerjakan, memberhentikan, mempromosikan dan mengangkat guru dan pegawai untuk mendapatkan dukungan.
Proses dekonstruksi di atas dilanjutkan dengan rekonstruksi pendidikan. Rekonstruksi menuju pendidikan transformatif yang didasarkan atas kondisi objektif dan proyeksi masa depan yang hendak dicapai. Pada titik ini, pendidikan Indonesia menghadapi tantangan internal dan eksternal yang berat. Problem internal terkait dengan dunia pendidikan sendiri seperti filsafat dasarnya, infrastruktur, sumberdaya manusia, dana dan kelembagaan dalam kebijakan politik pendidikan.
Secara eksternal, pendidikan dihadapkan pada problem nasional dan kompeksitas problematik globalisasi. Problem nasional bukan hanya persoalan krisis ekonomi yang tak kunjung usai, namun juga mencakup current issues seperti SARA, pluralisme, lingkungan hidup, etika dan demokrasi. Sedangkan problem global dipicu oleh tantangan dan dampak revolusi teknologi informatika, komunikasi dan komputer. Revolusi teknologi yang menjadi sokoguru kapitalisme ini, menciptakan kompetisi antarbangsa yang bercorak keunggulan SDM. Juga berbagai dampak buruk yang menyertakan yang terangkum dalam isu global serta hegemoni ekonomi negara maju.
Ditempat lain Paulo Freire, seorang pemikir dan praktisi pendidikan asal Brasil mengusulkan ancangan pendidikan tranformatif yang disebut “Pendidikan Kerakyatan”, yaitu upaya masyarakat untuk memperoleh pengetahuan yang ada dan sekaligus membangun suatu pengetahuan baru untuk menata kembali masyarakat, sehingga semua akan memperoleh peluang mendapat hidup yang seutuhnya. “Pendidikan Kerakyatan” mengakui adanya energi dan potensi di dalam diri orang perorangan dan komunitas, berupaya memberdayakan energi dan potensi itu demi terciptanya kontribusi maksimum bagi proses pembangunan sebuah masyarakat baru, di mana di dalamnya semua orang bisa memenuhi kebutuhan manusiawi yang mendasar.
Ada beberapa prinsip dasar dari “Pendidikan Kerakyatan” yaitu:
Tujuan pendidikan itu adalah sebuah transformasi radikal, atas kehidupan kita sendiri, komunitas, lingkungan dan seluruh masyarakat. Keadaan yang dialami sekarang di suatu tempat bukan keadaan final yang tak bisa dirubah. Keadaan itu harus dirubah, secara radikal, artinya harus dirubah dari akar-akarnya.
Pendidikan itu harus relevan, sampai mempertimbangkan emosi dan perasaan manusia demi pemberdayaan. Pada saat ini semua orang berpikir bahwa pendidikan itu relevan, tetapi siapa yang memutuskan bahwa itu relevan? Relevansi tidak bisa ditentukan oleh orang luar, tetapi oleh masyarakat itu sendiri. Untuk itu, Freire menggali emosi dan perasaan terdalam/terkuat manusia: harapan, kecemasan, ketakutan, kemarahan, kegembiraan dan duka cita. Ini semua dibawa ke permukaan untuk membunuh sikap apatis, sikap yang bagi Freire bukan sikap alami, tetapi yang harus dibunuh dengan mengembangkan energi alami di dalam diri manusia. Isu-isu yang membangkitkan energi alami di dalam diri manusia disebut Freire sebagai “Tema-tema Generatif. Dan untuk membangkitkan tematema generatif ini dikembangkan sebuah metode yakni “Survei Mendengarkan”.
Pendidikan itu harus mengedepankan dialog, pendidikan bukan bank, di mana tinggal dipindahkan dari satu sumber (ahli) kepada orang lain. Saat ini tumbuh kesadaran baru bahwa untuk semua masalah yang dihadapi manusia, tidak ada ahli yang memiliki semua jawaban. Dalam bidang pembangunan, tidak jarang ditemukan bahwa mereka yang disebut ahli juga salah, dan bisa berulang kali nasihatnya hanya bermuara pada kemiskinan yang lebih besar. Karena tidak seorang pun punya jawaban yang paling benar, maka kita butuh setiap orang untuk memberikan jalan keluar. Partisipasi lokal amat penting untuk pembangunan yang efektif.
Pendidikan itu seharusnya menghadapkan seseorang kepada masalah dan mengajak peserta didik ke penemuan solusi masalah. Saat kita telah mengumpulkan tema-tema generatif dari sebuah komunitas maka berikutnya kita memerlukan suatu cara konkrit untuk bagaimana mempresentasikan pengalaman-pengalaman sehari-hari dari yang disebut masalah itu, kepada kelompok. Di sini bisa digunakan poster, drama, foto, slide, nyanyian, permainan simulasi untuk mencapai perhatian yang sungguh terfokus dari setiap orang terhadap suatu masalah. Alat-alat bantu ini disebut “Kode-kode”. Alat-alat bantu ini akan sungguh-sungguh tambah membangkitkan lagi energi di dalam diskusi-diskusi kelompok, ceramah, dll. Dengan alat-alat bantu ini, petugas tidak perlu menjelaskan terlalu banyak, cukup dengan pertanyaan penuntun diskusi saja. Peserta akan diajak untuk sungguh-sungguh masuk jauh ke akar persoalan dan menantang mereka untuk menemukan jalan keluar (bukan fasilitator yang memberi jalan keluar). Dalam kata-kata Freire sendiri: “Pendidikan penguakan masalah itu bersifat kenabian, dan karena itu mengandung harapan dan berkaitan dengan alam kesejarahan manusia. Pendidikan seperti itu mempertegas bahwa manusia mengangkat dirinya sendiri (kearah lebih baik), bergerak maju dan melihat ke depan bagi yang melihat ke belakang, itu seharusnya hanya sebagai sarana memahami secara lebih jelas apa dan siapakah mereka, sehingga secara lebih bijaksana mereka membangun masa depan mereka.”
Bahwa tindakan refleksi-aksi-refleksi adalah proses sentral dalam transformasi masyarakat. Di dalam aksi dan refleksi itu orang akan melihat kembali apa yang telah dilakukan dan dicapai, apa yang berhasil dan gagal dan berpikir tentang bagaimana mengatasi masalah dan meningkatkan keberhasilan, yang kemudian dikonkretkan dalam rencana baru, dan rencana baru itu dilaksanakan, dilihat kembali, dianalisis dan ditemukan jalan keluar baru. Begitu seterusnya sebagai proses tiada henti. Di dalam proses “berpikir” itu kelompok bisa belajar dari pengalaman dan pengetahuan dari luar, sebagai input (misalnya dari slides, video, ayat-ayat Kitab Suci, dll). Input dari luar tersebut harus hanya berupa titik awal untuk diskusi berikutnya, bukan kata akhir.
Bahwa sebetulnya tidak ada pendidikan yang netral begitu saja. Semua orang sudah dan pasti terkondisi oleh pengalaman dan pentinglah untuk secara kritis menilai bagaimana semua itu mempengaruhi orang lain di dalam keseluruhan proses. Kita perlu mengecek sejauh mana pendidikan kita hanya “menjinakkan” masyarakat untuk secara taat tunduk pada suatu “budaya dominan”, dan sejauh mana pendidikan itu membebaskan mereka sehingga mereka kritis, kreatif, bebas, aktif dan bertanggung jawab. Kalaupun ada fakta-fakta yang obyektif tidak terbantahkan, semua itu hanya berarti kalau dilihat hubungannya dalam keseluruhan.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini dideskripsikan Ringkasan Langkah demi langkah penerapan metode yang ditawarkan oleh Paulo Freire tersebut:
Langkah pertama: Survei dengan cara mendengarkan
Perlu dilakukan oleh tim yang peka, tidak diarahkan kepada pertanyaan dan hasil jawaban tertentu, tetapi pada percakapan tidak terstruktur di mana orang merasa relaks, santai, tidak takut, bisa di atas bis, di warung kopi, pasar, di kali tempat cuci menimba air, dan lain-lain.
Langkah kedua: Analisis materi hasil survei
Informasi dari tahap sebelumnya dilihat secara kritis. Apa informasi yang dibicarakan dengan penuh semangat dan emosi oleh orang-orang tadi?
Apakah isu-isu yang terdengar berkaitan dengan masalah ketahanan hidup, pengambilan keputusan ataukah nilai-nilai?
Langkah Ketiga: Persiapan alat bantu “penguakan masalah”
Tim kemudian menyiapkan alat bantu “kode-kode” untuk membantu diskusi di dalam kelompok-kelompok belajar. Bisa berupa poster, gambar biasa, lagu-lagu, cerita pendek, dll. Kode itu harus betul memilih tema paling penting yang menimpa pengalaman masyarakat dan harus dipresentasikan sedemikian rupa sehingga kode itu “akrab” dengan peserta (misalnya: kalau kodenya sebuah lagu, jangan pakai lagu berbahasa asing atau lagu dari luar, yang tidak dikenal oleh orang di sana, betapapun itu representatif) .
Langkah Keempat: Kelompok belajar
Di dalam kelompok belajar orang diberi kemungkinan berbicara menggunakan “kata-kata” mereka sendiri, bukan “kata-kata” orang lain. Peserta diperbolehkan menolak sebuah ide pada awalnya, karena kemudian dengan itu ia lebih bebas menerima ide itu kalau masuk akal, daripada memaksakannya sejak awal. Kesalahan tidak boleh diolokolok (diremehkan), tetapi menjadi landasan untuk belajar lebih lanjut.
Langkah Kelima: Peran fasilitator
Peran utamanya adalah membantu peserta untuk menguak situasi. Mereka akan lebih ingat apa yang pernah mereka sebut dan temukan sendiri daripada apa yang disebut dan ditemukan orang lain. Karena itu fasilitator tidak boleh banyak bicara, hanya siapkan beberapa pertanyaan yang tepat. Ia harus sensitif terhadap dinamika kelompok, bangkitkan yang berdiam diri dan dengan cara baik mengendalikan yang banyak omong.
Langkah Keenam: Arah diskusi
Ketika kelompok belajar sudah berada dalam situasi enak, barulah fasilitator mempresentasikan alat bantu kode-kode. Ada enam langkah dasar di sini: 1) deskripsi, 2) analisis pertama, 3) hubungkan dengan situasi hidup nyata, 4) analisis lebih dalam, 5) temukan masalah dan konsekuensi lain bila hal-hal tersebut tetap seperti itu, 6) perencanaan aksi oleh mereka sendiri. Keseluruhan proses ini mengembangkan kesadaran kritis akan situasi kelompok sendiri, merangsang untuk penemuan solusi untuk masalah mereka sendiri. Ini adalah dasar dari apa yang disebut “konsiensias”, penyadaran, sebuah langkah dasar dalam metode-metode Freire.
Langkah Ketjuh: Refleksi dan Aksi
Setelah sesuatu yang kongkrit telah direncanakan untuk mengatasi suatu masalah, maka fasilitator harus sungguh mendorong, berperan serta secara penuh di dalamnya, dan membantu dalam mengevaluasi langkah itu setelahnya. Proyek tidak merupakan tujuan akhir di dalam dirinya sendiri. Proyek adalah awal dari
sebuah proses untuk sebuah kesadaran kritis dan selalu perlu dilihat dalam sorotan seperti itu. Sangat diperlukan merefleksi faktor lain di luar yang ikut berpengaruh, seperti kebijakan pemerintah. Mengkaitkan misalnya anggaran daerah, kebijakan sosial dan perdebatan politis dengan diskusi-diskusi di tingkat lokal kita, membentuk suatu pertautan vital di dalam kesadaran komunitas untuk sebuah perencanaan strategis masa depan. Fasilitator berperan amat penting, khususnya ketika sebuah rencana aksi ternyata gagal. Tetap mendorong kelompok agar tidak menyerah, tetapi kembali membuat analisis dan perencanaan baru. Ketika kelompok sudah betul masuk ke dalam lingkaran refleksi adan aksi, sebuah proyek akan masuk ke proses transformasi berkutnya.
Simpulan
Dari sekilas paparan dimuka, maka dapat diambil benang merah sebagai penutup dari makalah ini bahwa Pendidikan Indonesia tidak akan dapat memberi konstribusi dalam transformasi sosial dimasa mendatang tanpa merancang paradigma pendidikan transformatif. Bahkan, jika pendidikan Indonesia masih tetap menghirup udara sosial positivistik, maka barangkali perlu direnungkan pandangan sejarah Levi Strauss, yang melihat pengembangan sains hanya akan membawa manusia pada kehancuran struktur nilai peradabannya.
DAFTAR BACAAN
Basis edisi Paulo Freire, No.01-02 Tahun Ke-50, Januari-Febuari 2001
David Marsh and Gerry Stoker, Theories And Methods in Political Science, MacMillan Press Ltd., 1995
Indra Djati Sidi, Menuju Masyarakat Belajar; Menggagas Paradigma Baru Pendidikan Jakarta: Radar jaya Offset, 2001
Nurul Huda, Cakrawala Pembebasan; Agama, Pendidikan dan Perubahan Sosial Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002
Salim, Agus, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001.
Mansour Fakih, Mencari Model Sekolah Berkualitas: Dilema Paradigma Pendidikan, Sumber, Kompilasi Makalah Terpilih, Litbang Bulaksumur Pos 1999-2000
Suwarsono & Alvin Y. So, Perubahan Sosial dan Pembangunan, Jakarta: LP3ES, 1994.
Ziauddin Sardar, Thomas